Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah toleransi berhubungan dengan nilai dan
perilaku. Ia berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerantia dalam bahasa Latin. Kurang
lebih istilah ini menunjukkan pada arti “saling memahami, saling mengerti, dan saling
membuka diri dalam bingkai persaudaraan”. Sementara, istilah “kerukunan” dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
diartikan sebagai “hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat”
untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran”. Kerukunan adalah istilah yang
dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat
dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan
pertengkaran. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka ”toleransi” dan “kerukunan”
adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Dalam terminologi Islam, istilah yang dekat dengan toleransi adalah ”tasamuh”.
Seekalipun tidak secara utuh menunjukkan pengertian yang sama, tetapi secara essensial
mengandung tujuan yang diinginkan, yaitu saling memahami, saling menghormati, dan saling
menghargai sebagai sesama manusia. Tasamuh memuat tindakan penerimaan dan tuntutan
dalam batas-batas tertentu. Tasamuh mengandung harapan pada satu pihak untuk memberi dan sekaligus mengambil. Subjek yang melakukan tasamuh dalam Islam dinamakan
mutasamihin, yang berarti “pemaaf, penerima, menawarkan, pemurah sebagai tuan rumah
kepada tamu”. Dalam pelaksanaannya, orang yang melakukan tindakan tasamuh ini tidak
sepatutnya menerima saja sehingga menekan batasan hak dan kewajibannya sendiri. Dengan
kata lain, perilaku tasamuh dalam beragama memiliki pengertian untuk tidak saling
melanggar batasan, terutama yang berkaitan dengan batasan keimanan (aqidah). Meskipun
tasamuh memiliki pengertian seperti di atas, dalam banyak konteks, ia seringkali diselaraskan
arti dengan kata “toleransi”. Toleransi adalah “harmoni dalam perbedaan”, yang tidak hanya
menuntut kewajiban moral semata, tetapi juga persyaratan politik dan hukum.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui, bahwa
bangsa Indonesia adalah terdiri dari beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama yang beragam.
Dari keragaman ini tidak menutup kemungkinan muncul konflik dan gesekan kepentingan.
Dalam konteks inilah diperlukan suasana hidup rukun dan toleran. Upaya yang dilakukan,
baik melalui kebijakan pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat tertentu terus
dilakukan. Sudah puluhan tahun bangsa ini melakukan upaya, agar masyarakat yang beragam
ini hidup rukun. Pendekatan keamanan dan stabilitas nasional, sebagaimana dilakukan pada
masa Orde Baru, misalnya, memang dipandang telah berhasil. Tetapi didalamnya tersimpan
bahaya laten berupa terlalu lama menyimpan ketidakpuasan, keberpihakan, represif, dll. yang
suatu saat bisa meledak. Sebagaimana kita lihat bersama, sejarah telah membuktikan itu,
yang sampai sekarang masih terasa dampaknya. Yang diperlukan sekarang, bukan hanya
kebijakan pemerintah melalui berbagai peraturan kerukunan hidup antar ummat beragama,
tetapi jauh dari itu adalah bagaimana menanamkan dan memunculkan kesadaran, bahwa
hidup rukun, damai, dan penuh persaudaraan di alam yang pernuh perbedaan tanpa
permusuhan merupakan perintah agama.
Kesadaran beragama dan Kerukunan
Untuk memunculkan kesadaran dalam beragama, setidaknya diperlukan beberapa
tahapan, yaitu pengetahuan dan pemahaman, praktek, dan dilakukan secara berulang-ulang.
Ketiga tahapan ini merupakan satu kesatuan dalam perilaku. Dalam konteks kerukunan dan
toleransi, maka tahapan-tahapan ini harus dilalui. Setiap tindakan pasti berdasarkan
pengetahuan dan pemahamannya. Jika tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang, maka
akan melekat menjadi suatu kepribadian. Baik tidaknya suatu tindakan tergantung
pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya. Orang yang beragama adalah orang yang
mempraktekan ajaran agama berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadarannya. 3
Mengikuti alur pikir di atas, maka pengetahuan dan pemahaman tentang keharusan hidup
rukun dan toleran menjadi kunci utama. Islam mengajarkan pengetahuan ini untuk
dipraktekkan. Ajaran yang mengungkapkan hidup rukun dan toleran dapat dikemukakan,
diantaranya beberapa poin di bawah ini :
1. Manusia adalah mahluk sosial dan diharuskan untuk saling mengenal.
Manusia diciptakan berbeda-beda, dan perbedaan ini sudah menjadi ketetapan Tuhan
(Sunnatullah). Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah Swt., salah satunya dalam
surat Al-Hujarat 13, yaitu yang mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” Sebagai ketetapan Tuhan, pernyataan ini
tentu harus diterima. Mereka yang tidak bisa menerima adanya keragaman berarti
mengingkari ketetapan Tuhan. Berdasarkan hal ini pula maka toleransi menjadi satu ajaran
penting yang dibawa dalam setiap risalah keagamaan, tidak terkecuali pada sistem teologi
Islam. Sudah barang tentu, adanya ragam perbedaan merupakan kenyataan sosial, sesuatu
yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri.
Makhluk sosial adalah makhluk yang satu sama lain saling membutuhkan. Makhluk
sosial adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berdialog dengan orang lain dan
lingkungannya. Dialog merupakan percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog dapat juga
diartikan sebagai “pergaulan antara pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan
berusaha mengenal pihak lain sebagaimana adanya." Dari pengertian ini, secara sosiologis
maupun psikologis, dialog merupakan kebutuhan hakiki. Manusia membutuhkan dialog,
membuka diri kepada orang lain, dengan mendasari pada prinsip-prinsip : (a) keterbukaan
terhadap pihak lain; (b) kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain;
dan (c) saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan
caranya sendiri. Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tapi bahasa sama
ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda.
2. Perbedaan pemahaman maupun keyakinan tidak bisa dipungkiri.
Secara sosiologis, pengakuan terhadap adanya keragaman keyakinan ini merupakan
pengakuan toleran yang paling sederhana, namun pengakuan secara sosiologis ini tidak
berarti mengandung pengakuan terhadap kebenaran teologis dari agama lain. “Seandainya
Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah
bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”.
(Q.S. 2 : 251)
Toleransi dalam kehidupan keagamaan yang ditawarkan oleh Islam begitu sederhana dan
rasional. Islam mewajibkan para pemeluknya membangun batas yang tegas dalam hal akidah
dan kepercayaan, sambil tetap menjaga prinsip penghargaan atas keberadaan para pemeluk
agama lain dan menjaga hak-hak mereka sebagai pribadi dan anggota masyarakat.
Pembatasan yang tegas dalam hal akidah atau kepercayaan ini merupakan upaya Islam untuk
menjaga para pemeluknya agar tidak terjebak pada sinkretisme. “Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
(Al-Kafirun 1-6). Bersikap toleransi memiliki batasan-batasan terutama berhubungan dengan
masalah akidah. Ajaran Islam dengan tegas juga melarang para pemeluknya untuk
berperilaku seperti para penganut agama lain (Al-Hadid 16). Namun, pada saat bersamaan
Islam pun menyerukan untuk menghormati dan memandang orang lain yang berbeda agama
sebagai pribadi yang utuh dengan segala hak dan kewajibannya yang mesti dihargai. Islam
melarang para pemeluknya untuk mencaci-maki orang lain, dan melarang segala bentuk
perlakuan yang bisa mencederai kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.(An-Nahl
125;Ali Imran19).
Menurut Azyumardi Azra, dalam perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup antar
agama, dan konsekuensinya antarumat beragama, berkaitan erat dengan dua hal, yakni
pertama, berkaitan dengan doktrin Islam tentang hubungan antar sesama manusia dan
hubungan antara Islam dengan agama-agama lain; kedua, berkaitan dengan pengalaman
historis manusia sendiri dalam hubungannya dengan agama-agama yang dianut oleh umat
manusia.
3. Mengikuti keteladanan Rasulullah
Rasulullah diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kita diharuskan
mengikuti keteladanannya. Perilaku Rasulullah adalah perilaku akhlak. Akhlak merupakan
norma dan etika pergaulan berlandaskan Islam. Ia tidak hanya mengatur etika pergaulan antar
sesama manusia, tetapi juga dengan alam lingkungan dan Penciptanya. Perilaku yang akhlaki
ini semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah. Terdapat banyak sunnah-sunnah Nabi yang terkait dengan perintah bagi umatnya untuk terus menjaga sikap dan perilaku mereka agar
tidak melanggar batas-batas kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Perjanjian
antara Nabi Muhammad Saw dan umat Kristen di Gunung Sinai, misalnya, adalah salah satu
contoh besar dari sikap toleransi dan mengakui adanya keberagaman agama dalam
masyarakat ini. Demikian pula, ketika Rasulullah menjadi pemimpin Negara di Madinah
yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku dan agama.
4. Kedamaian dan Persaudaraan Universal
Kasih dan damai merupakan jantung ajaran agama, karena merupakan kebutuhan
kemanusiaan. Alquran mencoba mengembangkan moralitas tertinggi dimana perdamaian
merupakan komponen terpenting. Kata ’Islam’ diderivasi dari akar kata ’silm’ yang berarti
”kedamaian.” Visi kasih dalam Islam dibangun di atas dua pilar, yaitu individu dan
masyarakat. Hubungan individu-individu yang saleh dan damai akan membentuk masyarakat
yang ideal, yaitu masyarakat yang berdasarkan pada tiga pilar : keadilan politik, yang
disebut dengan demokrasi; keadilan ekonomi, yang disebut dengan kesejahteraan dan
pemerataan; dan keadilan sosial, yang disebut dengan persamaan dan tersedianya akses
politik.
Kasih dan damai merupakan jantung ajaran agama, karena merupakan kebutuhan
kemanusiaan. Alquran mencoba mengembangkan moralitas tertinggi dimana perdamaian
merupakan komponen terpenting. Kata ’Islam’ diderivasi dari akar kata ’silm’ yang berarti
”kedamaian.” Visi kasih dalam Islam dibangun di atas dua pilar, yaitu individu dan
masyarakat. Hubungan individu-individu yang saleh dan damai akan membentuk masyarakat
yang ideal, yaitu masyarakat yang berdasarkan pada tiga pilar : keadilan politik, yang
disebut dengan demokrasi; keadilan ekonomi, yang disebut dengan kesejahteraan dan
pemerataan; dan keadilan sosial, yang disebut dengan persamaan dan tersedianya akses
politik.
Prinsip toleransi yang diwujudkan dalam bentuk keharusan hidup rukun, dapat dilihat
dalam konteks persaudaraan kemanusiaan universal ini. Semua umat manusia adalah satu
keturunan. Umat Islam meyakini bahwa Adam adalah nabi dan rasul yang pertama, dan
Muhammad bin Abdullah adalah nabi dan rasul terakhir, dan bahkan meyakini pula bahwa
“agama” nabi Adam tentulah Islam. Dalam al-Quran menyebut agama Ibrahim dan Ya‟cub
besereta keturunannya adalah Islam (Al-Baqarah 132), dan agama nabi Yusuf adalah Islam
(Yusuf 101). Doktrin Islam berkaitan dengan kerukunan dapat dipahami pula dari fungsi
Islam sebagai rahmatal lil alamin, yaitu pembawa rahmat dan kedamaian (Al-Anbiya 170).
5. Mengakui hak hidup agama lain
Pada saat yang bersamaan, Islam mewajibkan kepada para pemeluknya untuk
menyampaikan pesan-pesan Islam melalui dakwah, yaitu panggilan kepada kebenaran agar
manusia yang bersangkutan dapat mencapai keselamatan dunia dan akherat (Q.S. 16:125;
22:67; 41:33). Karena dakwah merupakan ”panggilan”, maka konsekuensinya adalah bahwa
ia harus tidak melibatkan pemaksaan – la ikraha fi al-din (Q.S.2:256). Dengan demikian
jelas, Islam mengakui hak hidup agama-agama lain; dan membenarkan para pemeluk agama
lain tersebut untuk menjalankan ajaran-ajaran agama masing-masing. Di sinilah terletak dasar
ajaran Islam mengenai toleransi antar ummat beragama.
Setelah memahami sebagian dari prinsip Islam tentang toleransi dan kerukunan, dalam
prakteknya tidak menutup kemungkinan menghadapi problema. Memang, ada beberapa
faktor yang dapat menjadi penyebab sekaligus hambatan terwujudnya toleransi, terutama
menyoroti dari kalangan internal penganut agama yang berpengaruh terhadap pergaulan antar
umat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar