Kamis, 22 Januari 2015

Ajaran Islam dan moralitas agama dalam bingkai kehidupan yang damai

Pengertian Toleransi dan Kerukunan 
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah toleransi berhubungan dengan nilai dan
perilaku. Ia berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerantia dalam bahasa Latin. Kurang
lebih istilah ini menunjukkan pada arti “saling memahami, saling mengerti, dan saling
membuka diri dalam bingkai persaudaraan”. Sementara, istilah “kerukunan” dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
diartikan sebagai “hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat”
untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran”. Kerukunan adalah istilah yang
dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat
dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan
pertengkaran. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka ”toleransi” dan “kerukunan”
adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
      Dalam terminologi Islam, istilah yang dekat dengan toleransi adalah ”tasamuh”.
Seekalipun tidak secara utuh menunjukkan pengertian yang sama, tetapi secara essensial
mengandung tujuan yang diinginkan, yaitu saling memahami, saling menghormati, dan saling
menghargai sebagai sesama manusia. Tasamuh memuat tindakan penerimaan dan tuntutan
dalam batas-batas tertentu. Tasamuh mengandung harapan pada satu pihak untuk memberi dan sekaligus mengambil. Subjek yang melakukan tasamuh dalam Islam dinamakan
mutasamihin, yang berarti “pemaaf, penerima, menawarkan, pemurah sebagai tuan rumah
kepada tamu”. Dalam pelaksanaannya, orang yang melakukan tindakan tasamuh ini tidak
sepatutnya menerima saja sehingga menekan batasan hak dan kewajibannya sendiri. Dengan
kata lain, perilaku tasamuh dalam beragama memiliki pengertian untuk tidak saling
melanggar batasan, terutama yang berkaitan dengan batasan keimanan (aqidah). Meskipun
tasamuh memiliki pengertian seperti di atas, dalam banyak konteks, ia seringkali diselaraskan
arti dengan kata “toleransi”. Toleransi adalah “harmoni dalam perbedaan”, yang tidak hanya
menuntut kewajiban moral semata, tetapi juga persyaratan politik dan hukum.
       Dalam konteks ke-Indonesia-an, sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui, bahwa
bangsa Indonesia adalah terdiri dari beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama yang beragam.
Dari keragaman ini tidak menutup kemungkinan muncul konflik dan gesekan kepentingan.
Dalam konteks inilah diperlukan suasana hidup rukun dan toleran. Upaya yang dilakukan,
baik melalui kebijakan pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat tertentu terus
dilakukan. Sudah puluhan tahun bangsa ini melakukan upaya, agar masyarakat yang beragam
ini hidup rukun. Pendekatan keamanan dan stabilitas nasional, sebagaimana dilakukan pada
masa Orde Baru, misalnya, memang dipandang telah berhasil. Tetapi didalamnya tersimpan
bahaya laten berupa terlalu lama menyimpan ketidakpuasan, keberpihakan, represif, dll. yang
suatu saat bisa meledak. Sebagaimana kita lihat bersama, sejarah telah membuktikan itu,
yang sampai sekarang masih terasa dampaknya. Yang diperlukan sekarang, bukan hanya
kebijakan pemerintah melalui berbagai peraturan kerukunan hidup antar ummat beragama,
tetapi jauh dari itu adalah bagaimana menanamkan dan memunculkan kesadaran, bahwa
hidup rukun, damai, dan penuh persaudaraan di alam yang pernuh perbedaan tanpa
permusuhan merupakan perintah agama.
Kesadaran beragama dan Kerukunan
        Untuk memunculkan kesadaran dalam beragama, setidaknya diperlukan beberapa 
tahapan, yaitu pengetahuan dan pemahaman, praktek, dan dilakukan secara berulang-ulang. 
Ketiga tahapan ini merupakan satu kesatuan dalam perilaku. Dalam konteks kerukunan dan 
toleransi, maka tahapan-tahapan ini harus dilalui. Setiap tindakan pasti berdasarkan 
pengetahuan dan pemahamannya. Jika tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang, maka 
akan melekat menjadi suatu kepribadian. Baik tidaknya suatu tindakan tergantung 
pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya. Orang yang beragama adalah orang yang 
mempraktekan ajaran agama berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadarannya. 3 
        Mengikuti alur pikir di atas, maka pengetahuan dan pemahaman tentang keharusan hidup 
rukun dan toleran menjadi kunci utama. Islam mengajarkan pengetahuan ini untuk 
dipraktekkan. Ajaran yang mengungkapkan hidup rukun dan toleran dapat dikemukakan, 
diantaranya beberapa poin di bawah ini :
1. Manusia adalah mahluk sosial dan diharuskan untuk saling mengenal.
        Manusia diciptakan berbeda-beda, dan perbedaan ini sudah menjadi ketetapan Tuhan 
(Sunnatullah). Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah Swt., salah satunya dalam 
surat Al-Hujarat 13, yaitu yang mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia dari 
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan 
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” Sebagai ketetapan Tuhan, pernyataan ini 
tentu harus diterima. Mereka yang tidak bisa menerima adanya keragaman berarti 
mengingkari ketetapan Tuhan. Berdasarkan hal ini pula maka toleransi menjadi satu ajaran 
penting yang dibawa dalam setiap risalah keagamaan, tidak terkecuali pada sistem teologi 
Islam. Sudah barang tentu, adanya ragam perbedaan merupakan kenyataan sosial, sesuatu 
yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri. 
        Makhluk sosial adalah makhluk yang satu sama lain saling membutuhkan. Makhluk 
sosial adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berdialog dengan orang lain dan 
lingkungannya. Dialog merupakan percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog dapat juga 
diartikan sebagai “pergaulan antara pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan 
berusaha mengenal pihak lain sebagaimana adanya." Dari pengertian ini, secara sosiologis 
maupun psikologis, dialog merupakan kebutuhan hakiki. Manusia membutuhkan dialog, 
membuka diri kepada orang lain, dengan mendasari pada prinsip-prinsip : (a) keterbukaan 
terhadap pihak lain; (b) kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain; 
dan (c) saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan 
caranya sendiri. Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tapi bahasa sama 
ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda.
2. Perbedaan pemahaman maupun keyakinan tidak bisa dipungkiri. 
       Secara sosiologis, pengakuan terhadap adanya keragaman keyakinan ini merupakan 
pengakuan toleran yang paling sederhana, namun pengakuan secara sosiologis ini tidak 
berarti mengandung pengakuan terhadap kebenaran teologis dari agama lain. “Seandainya 
Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah 
bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. 
(Q.S. 2 : 251) 
      Toleransi dalam kehidupan keagamaan yang ditawarkan oleh Islam begitu sederhana dan 
rasional. Islam mewajibkan para pemeluknya membangun batas yang tegas dalam hal akidah 
dan kepercayaan, sambil tetap menjaga prinsip penghargaan atas keberadaan para pemeluk 
agama lain dan menjaga hak-hak mereka sebagai pribadi dan anggota masyarakat. 
Pembatasan yang tegas dalam hal akidah atau kepercayaan ini merupakan upaya Islam untuk 
menjaga para pemeluknya agar tidak terjebak pada sinkretisme. “Aku tidak akan menyembah 
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku 
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) 
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” 
(Al-Kafirun 1-6). Bersikap toleransi memiliki batasan-batasan terutama berhubungan dengan 
masalah akidah. Ajaran Islam dengan tegas juga melarang para pemeluknya untuk 
berperilaku seperti para penganut agama lain (Al-Hadid 16). Namun, pada saat bersamaan 
Islam pun menyerukan untuk menghormati dan memandang orang lain yang berbeda agama 
sebagai pribadi yang utuh dengan segala hak dan kewajibannya yang mesti dihargai. Islam 
melarang para pemeluknya untuk mencaci-maki orang lain, dan melarang segala bentuk 
perlakuan yang bisa mencederai kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.(An-Nahl 
125;Ali Imran19).
      Menurut Azyumardi Azra, dalam perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup antar 
agama, dan konsekuensinya antarumat beragama, berkaitan erat dengan dua hal, yakni 
pertama, berkaitan dengan doktrin Islam tentang hubungan antar sesama manusia dan 
hubungan antara Islam dengan agama-agama lain; kedua, berkaitan dengan pengalaman 
historis manusia sendiri dalam hubungannya dengan agama-agama yang dianut oleh umat 
manusia.
3. Mengikuti keteladanan Rasulullah
      Rasulullah diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kita diharuskan 
mengikuti keteladanannya. Perilaku Rasulullah adalah perilaku akhlak. Akhlak merupakan 
norma dan etika pergaulan berlandaskan Islam. Ia tidak hanya mengatur etika pergaulan antar 
sesama manusia, tetapi juga dengan alam lingkungan dan Penciptanya. Perilaku yang akhlaki 
ini semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah. Terdapat banyak sunnah-sunnah Nabi yang terkait dengan perintah bagi umatnya untuk terus menjaga sikap dan perilaku mereka agar 
tidak melanggar batas-batas kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Perjanjian 
antara Nabi Muhammad Saw dan umat Kristen di Gunung Sinai, misalnya, adalah salah satu 
contoh besar dari sikap toleransi dan mengakui adanya keberagaman agama dalam 
masyarakat ini. Demikian pula, ketika Rasulullah menjadi pemimpin Negara di Madinah 
yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku dan agama. 
4. Kedamaian dan Persaudaraan Universal
      Kasih dan damai merupakan jantung ajaran agama, karena merupakan kebutuhan 
kemanusiaan. Alquran mencoba mengembangkan moralitas tertinggi dimana perdamaian 
merupakan komponen terpenting. Kata ’Islam’ diderivasi dari akar kata ’silm’ yang berarti 
”kedamaian.” Visi kasih dalam Islam dibangun di atas dua pilar, yaitu individu dan 
masyarakat. Hubungan individu-individu yang saleh dan damai akan membentuk masyarakat 
yang ideal, yaitu masyarakat yang berdasarkan pada tiga pilar : keadilan politik, yang 
disebut dengan demokrasi; keadilan ekonomi, yang disebut dengan kesejahteraan dan 
pemerataan; dan keadilan sosial, yang disebut dengan persamaan dan tersedianya akses 
politik.
      Kasih dan damai merupakan jantung ajaran agama, karena merupakan kebutuhan 
kemanusiaan. Alquran mencoba mengembangkan moralitas tertinggi dimana perdamaian 
merupakan komponen terpenting. Kata ’Islam’ diderivasi dari akar kata ’silm’ yang berarti 
”kedamaian.” Visi kasih dalam Islam dibangun di atas dua pilar, yaitu individu dan 
masyarakat. Hubungan individu-individu yang saleh dan damai akan membentuk masyarakat 
yang ideal, yaitu masyarakat yang berdasarkan pada tiga pilar : keadilan politik, yang 
disebut dengan demokrasi; keadilan ekonomi, yang disebut dengan kesejahteraan dan 
pemerataan; dan keadilan sosial, yang disebut dengan persamaan dan tersedianya akses 
politik.
      Prinsip toleransi yang diwujudkan dalam bentuk keharusan hidup rukun, dapat dilihat 
dalam konteks persaudaraan kemanusiaan universal ini. Semua umat manusia adalah satu 
keturunan. Umat Islam meyakini bahwa Adam adalah nabi dan rasul yang pertama, dan 
Muhammad bin Abdullah adalah nabi dan rasul terakhir, dan bahkan meyakini pula bahwa 
“agama” nabi Adam tentulah Islam. Dalam al-Quran menyebut agama Ibrahim dan Ya‟cub 
besereta keturunannya adalah Islam (Al-Baqarah 132), dan agama nabi Yusuf adalah Islam 
(Yusuf 101). Doktrin Islam berkaitan dengan kerukunan dapat dipahami pula dari fungsi 
Islam sebagai rahmatal lil alamin, yaitu pembawa rahmat dan kedamaian (Al-Anbiya 170).
5. Mengakui hak hidup agama lain 
       Pada saat yang bersamaan, Islam mewajibkan kepada para pemeluknya untuk 
menyampaikan pesan-pesan Islam melalui dakwah, yaitu panggilan kepada kebenaran agar 
manusia yang bersangkutan dapat mencapai keselamatan dunia dan akherat (Q.S. 16:125; 
22:67; 41:33). Karena dakwah merupakan ”panggilan”, maka konsekuensinya adalah bahwa 
ia harus tidak melibatkan pemaksaan – la ikraha fi al-din (Q.S.2:256). Dengan demikian 
jelas, Islam mengakui hak hidup agama-agama lain; dan membenarkan para pemeluk agama 
lain tersebut untuk menjalankan ajaran-ajaran agama masing-masing. Di sinilah terletak dasar 
ajaran Islam mengenai toleransi antar ummat beragama.
Setelah memahami sebagian dari prinsip Islam tentang toleransi dan kerukunan, dalam 
prakteknya tidak menutup kemungkinan menghadapi problema. Memang, ada beberapa 
faktor yang dapat menjadi penyebab sekaligus hambatan terwujudnya toleransi, terutama 
menyoroti dari kalangan internal penganut agama yang berpengaruh terhadap pergaulan antar 
umat beragama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar