Kamis, 29 Januari 2015

BILA ORANG TUA BERBUAT MAKSIAT, APA YG HARUS KITA LAKUKAN SEBAGAI SEORANG ANAK???

II. TELADAN YANG BAIK DARI NABI IBROHIM 'ALAIHISSALLAAM
Alloh 'Azza wa Jalla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrohîm  merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Salah satunya, dalam kegelisahan beliau yang sangat dalam karena sang bapak Azar , masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung. Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrohîm Alaihissallam . Al-Qur`ân telah menceritakan di beberapa surat bagaimana besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua. Yang menarik dan mesti ditiru oleh anak-anak saat menghadapi perbuatan maksiat orang tua mereka adalah tauladan dari Nabi Ibrohîm 'Alaihissallam selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah (9:114). Alloh 'Azza wa Jalla berfirman:

"Sesungguhnya Ibrohîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun".

Beliau mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang-orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya: "Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku, hai Ibrohîm. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". Namun Nabi Ibrohîm 'alaihissallam menyikapinya dengan berkata: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Robbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku". [Maryam (19):46-47]
".
Syaikh as-Sa'di rohimahulloh berkata: Ibrohîm al-Kholîl 'Alaihissalam menjawabnya (ancaman si ayah) dengan jawaban yang biasa disampaikan oleh hamba-hamba Alloh 'Azza wa Jalla (’Ibâdurrohmân) ketika saat berbicara dengan orang-orang jâhilîn (orang-orang yang tak berilmu/awam) [Seperti tertera didalam surat Al-Furqon ayat:63] . Beliau tidak mencela sang bapak sedikit pun. Namun tetap bershabar dan tidak membalas (ancaman) bapaknya dengan hal-hal yang tidak baik. Inilah yang beliau ucapkan "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu" yang mengandung pengertian ‘Wahai ayah, engkau tidak akan menghadapi cemoohan, celaan dan perlakuan yang buruk dariku saat aku berbicara denganmu. Justru aku akan senantiasa berdoa kepada Alloh 'Azza wa Jalla agar memberikan hidayah dan ampunan bagimu...[Taisiirul Kariimir Rohman, hlm 369 dan 528. Pada giliranya Nabi Ibrohim 'Alaihissalaam dilarang oleh Alloh untuk memintakan Ampunan bagi bapaknya, karena telah memperoleh kepastian tentang kesesatanya]

III. BERCERMIN PADA PETUNJUK ULAMA
Bagaimanapun ketika orang tua berbuat pelanggaran syariat, anak tidak boleh berdiam diri. Ia berkewajiban merubahnya, supaya orang yang ia kasihi tersebut tidak terjerumus dalam kenistaan di jurang maksiat kepada Alloh 'Azza wa Jalla , namun tidak boleh menempuh cara-cara yang justru langsung memutus tali silaturrohiim dengan mereka

Berikut ini kami kutip beberapa keterangan Ulama yang berbicara bagaimana menyikapi orang tua yang berbuat maksiat. Dengan harapan, kita sekalian dapat mengambil langkah yang tepat saat menghadapi persoalan-persoalan serupa:

1. Bapakku Melakukan Pelanggaran Syariat
Syaikh 'Abdul 'Azîz bin Bâz rohimahulloh berikut ini menjawab kegamangan seorang anak atas tindakan maksiat yang ia lihat pada bapaknya. Beliau berkata:

"Semoga Alloh 'Azza wa Jalla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah. Alloh 'Azza wa Jalla berfirman :

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Luqmân (31):14-15]

(Pada ayat di atas) Alloh 'Azza wa Jalla berwasiat supaya mensyukuri kedua orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat kufur. Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Alloh 'Azza wa Jalla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh menaatinya dalam kemaksiatan.

Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Alloh 'Azza wa Jalla , supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh bapakmu. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”. [Majmu Fatawa Ibn Baz, 9/313 dengan ringkas]

2. Ibuku Melarangku Mengenakan Hijâb (Cadar)
Seorang Muslimah mengadukan ibunya yang melarang dirinya mengenakan cadar kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rohimahulloh. Sebaliknya, justru memerintahkan anak untuk menikmati bioskop dan video. Alasan si ibu, agar rambut putrinya tidak cepat memutih. Demikian pernyataan sang ibu kepada anak perempuannya.

Menanggapi persoalan ini, Syaikh Abdul Aziz Bin Bâz rohimahulloh menjawab:
Kamu berkewajiban bersikap lembut dengan ibu dan tetap berbuat baik kepada beliau, serta berbicara dengan cara yang terbaik. Sebab, hak ibu sangat besar. Akan tetapi, engkau tidak boleh taat kepadanya dalam perkara-perkara yang tidak baik, berdasarkan hadits Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wa sallam :

“Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada perkara-perkara baik saja”

Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada Alloh 'Azza wa Jalla . Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah. Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar'i, wajibnya taat kepada Alloh 'Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shollalloohu 'alaihi wa sallam, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Alloh 'Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shollalloohu ‘alaihi wa sallam , dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu atau lainnya. Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena mengandung banyak kebatilan. [Majmu Fatawa Ibn Baz, (5/385)]

3. Ibuku Marah Ketika Aku Ingatkan Dari Kesalahan
Seorang anak menyaksikan ibunya tidak istiqamah. Setiap kali menasehati, kemarahanlah yang muncul dari beliau. Akibatnya selama beberapa hari si ibu enggan berbicara dengan anaknya. Lantas persoalan yang ditanyakan adalah cara menasehati ibu, tanpa menimbulkan amarahnya dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla . Sebab, ternyata sang ibu saking marahnya sempat mendoakan kejelekan bagi putri yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu.

Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Abdur Rohmân al-Jibrîn hafizhahulloh menjawab kegundahan di atas dengan berkata: “Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya karena sudah cerai dari ayah), orang tua ibu atau walinya, agar mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara) beliau. Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu) karena dorongan rasa tidak suka bila hukum Alloh 'Azza wa Jalla dilanggar. Namun apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh melakukan muqâtho’ah (mendiamkan beliau)” [Fatawal Mar'ah hlm, 104 dinukil dari Fatawa Mar'atil Muslimah hlm, 957-958.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar