Sabtu, 06 Desember 2014

Hakikat Musibah

Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”(QS. Al-Anbiya: 35)

Dunia ini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadi sebaik-baik hamba. Allah Ta’ala berfirman :
“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)

Innalillah wa innailaihi ro'jiun.
Istirja’ adalah ucapan yang artinya “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”


Shahabiyah Ummu Salamah radhiyallahu’anha menyebutkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no.918)

Kalimat istirja’ adalah obat termanjur bagi mereka yang tertimpa musibah dan paling berguna bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat karena ia mengandung dua pondasi dasar yang apabila seorang hamba merealisasikan dengan mengetahui dua pondasi tersebut, insya Allah dirinya terhibur dari musibah tersebut.

➡Pondasi pertama adalah hendaknya seorang hamba itu mengakui bahwa dirinya, keluarganya, harta dan anaknya pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Dia hanya menitipkannya pada seorang hamba. Apabila Dia mengambilnya, ibarat pemilik barang mengambil barangnya yang dipinjam orang lain

➡Pondasi kedua adalah bahwasanya tempat kembali dan akhir perjalanan seorang hamba adalah kepada “Pemilik” yang sesungguhnya. Suatu masa, ia harus meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya, dan datang mengharap Rabbnya di hari akhir nanti seorang diri, sebagaimana Allah Ta’ala menciptakannya pertama kali, tanpa keluarga, harta, teman. Seseorang tidak akan membawa apapun kecuali amal kebaikan dan keburukan di akhirat nanti. Karena itu, dengan mengetahui dan menyadari keadaan seorang hamba di awal penciptaan dan di akhir kehidupan dunia, bagaimana mungkin ia akan akan bergembira atau bersedih karena berpisah dengan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar